Halaman

Selasa, 21 Mei 2013

Seberapa tulus hatimu padaku, sebuah catatan akhir tahun... (Asma Nadia)

siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?

Kalimat di atas sering sekali kita dengar. Barangkali pun sering kita ucapkan.

Ketulusan adalah sesuatu yang seharusnya juga kita masukkan dalam kalimat di atas.

sehingga secara implisit  kalimatnya menjadi:

siapa saya yang bisa menilai ketulusan seseorang, atau menghakimi tulus tidaknya seseorang?


Seperti juga keikhlasan, ketulusan (yang saya anggap part dari  ikhlas) adalah sesuatu yang tidak memiliki alat ukur yang jelas.

lalu apa indikator seseorang tidak tulus? apa indikator seseorang tulus? adakah tips-tips mengenali bentuk ketulusan or ketidaktulusan ini?

Saya tidak tahu jawabannya. Saya lebih khawatir pada kesalahan saya mengenali bentuk ketulusan, dibandingkan mengkhawatirkan ketulusan orang-orang yang memasang wajah tulus di hadapan saya.

Kenapa?
Sebab apakah mereka tulus atau tidak, sama sekali bukan urusan saya.

Jika mereka tidak tulus, maka itu tidak akan merugikan saya… tidak membuat saya menjadi orang yang lebih besar atau menjadi orang yang lebih kecil.

Sebab kita sendiri yang menentukan, akan jadi manusia yang lebih besarkah kita, atau sebaliknya. Bukan orang lain.

Katakanlah seseorang memberi pujian untuk kita.

“Wah, mbak cantik sekali. Lebih cantik dari yang saya dengar…”

Apakah mereka tulus mengungkapkan itu?

Ah, apa artinya mereka tulus ketika memuji atau tidak?

Sebab toh jika mereka tulus, pujian tersebut tidak membuat kita bertambah cantik.

Adapun jika mereka hanya mencari bahan obrolan, atau berusaha lebih dekat, atau mengambil hati kita dengan kalimat itu, saya kira ini kreativitas seseorang yang tidak menyakitkan.

Bagaimana jika mereka mengatakan hal itu justru untuk mengecilkan hati  kita. Jahatnya begitu. Sebab kita yang tiap hari bercermin tahu betul apa kata cermin tentang diri kita. Dan kita misalnya sama sekali tidak masuk kriteria cantik secara fisik.  Apakah kita harus merasa sedih atau marah karena mereka tidak tulus? Justru mungkin diam-diam menertawakan kita di belakang?

Ah, terus kenapa pula jika mereka memang menertawakan kita, jika mereka tidak tulus? Apakah kita menjadi lebih kecil dan tidak berarti? Tentu tidak. Arti diri kita, nilai diri kita… kitalah yang menentukan. Sepenuhnya di tangan kita. Bukan tangan orang lain.

“Dia bilang saya hebat, padahal dia tahu proyek saya gagal… “

“Dia Cuma pura-pura manis depan saya, padahal maksudnya…”

“Dia kan begitu hanya untuk bisnis, ramahnya untuk kepentingan-kepentingan tertentu…”

Katakanlah mereka benar tidak  tulus terhadap kita… lalu kenapa? Apa ruginya?

Bahwa manusia berusaha lebih kreatif, berusaha melancarkan bisnis, berusaha untuk kehidupannya, apakah itu menjadikan mereka manusia yang tidak baik? Tidakkah kita pun akan menjaga sikap kita, bahkan pada orang yang tidak kita sukai, namun punya pengaruh? Sebab ini adalah upaya survive dalam kehidupan, tahu bagaimana beradaptasi.  Tentu kita juga tahu bagaimana mencapai itu tanpa terjebak menjadi munafik.

Tentu saja, seharusnya seseorang tulus dengan apa yang dia ucapkan, dengan apa yang dia lakukan…

Tetapi kalau mereka memiliki alasan lain, tidak berarti mereka tidak tulus. Atau bahkan jika mereka benar-benar tidak tulus… Biarlah.

Kenapa harus kita  membiarkan bisikan-bisikan tadi justru  merusak hati, dan malah melawan prinsip yang pernah kita tanamkan dalam hati kita:

siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?

Dengan menilai orang lain tidak tulus, menilai orang lain bermaksud ini itu, memiliki kepentingan-kepentingan tertentu… mungkin kita benar. Lalu jika benar, apa poin lebih bagi kita?

TAPI,  bagaimana kalau kita salah menilai? Semua yang kita anggap sebagai bagian dari ketidaktulusan justru merupakan ketulusan?

Ahh, apa pula arti ketulusan?

Apakah ketulusan harus sesuai dengan apa yang KITA inginkan? Sesuai dengan definisi dan batasan-batasan KITA  tentukan? Sehingga jika ada yang melakukan sesuatu di luar rambu-rambu yang KITA tetapkan, kita anggap tidak tulus?

“Kalau dia tulus harusnya dia begini dong…”

”Kalau tulus dia nggak mungkin begitu…”

Kenapa ketulusan harus kita yang menjadi juri. Harus menurut kacamata kita?

Lalu di mana kita meletakkan poin, menghormati sebuah perbedaan? Bahwa ada orang lain yang memang berbeda, bahasa, budaya, agama…

Ketika seseorang memilih bersikap berbeda semata-mata karena upayanya menjadi hamba Allah yang lebih baik, dan bukan karena alasan-alasan lain, tanpa bermaksud menyakiti orang lain. Jika kemudian sikapnya tidak sesuai dengan keinginan kita, kacamata kita, atau apa yang kita percayai, apakah dia menjadi tidak tulus?

Ketulusan itu, biarlah Dia yang menilai sepenuhnya.

Sebab memang terlalu rumit untuk kacamata manusia.
Manusia dengan kemampuan pikir, hanya boleh berasumsi, boleh mengira-ira. Tapi  dengan tetap menghidupkan kesadaran: 

Allah, betapa terbatasnya mata kita, betapa luasnya pandanganMU.

Terbukti,  kita seringkali salah menilai seseorang…

“Saya kira dia suka ini… ternyata tidak.”

“Kelihatannya orangnya pendiam, ya… ternyata kok rame.”

Begitu banyak ternyata-ternyata lain.

Buat saya, saya tidak ingin meletakkan kebahagiaan saya, di tangan orang lain. Sebuah pujian tidak akan membuat saya bertambah kaya, sebab saya tahu… di mataNYA, begitu banyak cela dan cacat saya, begitu banyak ketidaksempurnaan saya, begitu kecilnya saya…

Tetapi, sebuah ketidaktulusan,  juga tidak boleh menyakiti saya, apalagi mengubah dunia saya. Ikhlaskan saja…

Tapi jadikan ketidaktulusan yang kamu temui, apakah asumsi atau kemudian terbukti, di mana saja… kapan saja… siapapun yang melakukannya, sebagai pelajaran dan bekal, untuk menjadi lebih tulus dari kemarin.

Sebab saya tidak ingin membuat hati-hati lain retak karena saya bersikap tidak tulus.

Saya yang harus tulus. Bukan orang lain.

Saya yang tidak boleh tidak tulus, bukan orang lain.

Sebab saya yang akan bertanggung jawab terhadap ketulusan atau ketidaktulusan saya, di mahkamahNya nanti. Saya, bukan yang lain…

~Asma Nadia~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar